Jumat, 28 Agustus 2015

Pengemis Cerdas Ala MBK

Salah satu foto lukisan di musium MBK
MBK atau biasa juga dikenal sebagai Makam Bung Karno, tentunya bukan hal yang asing lagi bagi traveller. Revolusioner kita yang pernah membuat banyak Negara bergetar ketika mendengarkan pidatonya ini, telah disemayamkan di kota yang biasa disebut dengan kutho cilik Blitar. Saya tidak perlu menjelaskan lebih jauh lagi tentang MBK ini, sekali lagi informasi menuju kesana ataupun informasi tentang sejarahnya sudah sangat banyak dan tentunya dengan akses yang tidak sulit.

Tim TDI berpose dengan entertainer MBK
Di MBK, selain ada pasar traditional yang menyajikan berbagai pernak – pernik oleh-oleh khas Blitar, juga terdapat pengemis yang unik. Sebenarnya bukan hal yang baru bagi para traveller, namun ini adalah sesuatu yang menurut saya harus menjadi sebuah edukasi tersendiri bagi orang Indonesia. Sebuah keluarga yang pada saat itu terdiri dari seorang ayah, dua anak perempuan seusia SMP dan seorang anak laki-laki sekitar umur 7 tahun. Mereka membuat sebuah group musik dengan alat musik ritmis semacam gamelan. Gamelannya pun bukan gamelan ala-ala group musik besar, namun gamelan yang digunakan sangat sederhana. Yang terpenting alat-alat tersebut mampu menghasilkan sebuah musik ritmis yang kompak dan enak untuk didengar. Sang ayah memegang saroon yang terbuat dari bambu yang disusun rapi dengan beda ukuran,  sang putri 1 menyanyi dan putri 2 memegang kencringan yang terbuat dari tutup botol minuman seperti yang digunakan pengamen pada umumnya, serta seorang anak laki-laki menabuh gendang. Lagu yang dibawakan pun lagu-lagu jawa campursari. Sehingga memberikan suasana jawa yang penuh dengan kesederhanaan namun artistik.

Si Bapak dengan alat musiknya serta 2 putri dan 1 putranya
Dengan menaruh sebuah baskom di depan mereka, itu menandakan mereka telah memberikan sebuah hiburan dan berharap ada yang mau menghargainya. Meskipun mereka tidak memaksa untuk setiap orang datang atau melintas memberikan lembarannya ke dalam baskom, namun mereka tetap semangat untuk terus bernyanyi disaat setiap ada rombongan atau perorangan peziarah datang. Tidak terlepas dari apa yang dilakukan oleh rekan-rekan rombongan TDI (Taft Diesel Indonesia ). Seusai makan siang, mereka menuju keluarga seni tersebut yang sedang beristirahat. Sontak saja mereka langsung menabuh lagi gendang dan alat-alatnya agar menghasilkan bunyi-bunyian. Kala itu, si anak mulai mengeluarkan suaranya yang akhirnya aku sadari suaranya sangat bagus, apalagi jika ada binaan vocal, saya yakin dia akan menjadi seorang penyanyi yang hebat. Beberapa tim ada yang berjoged, dan sebagian besar mengabadikan aktivitas ini. Terlepas dari kegiatan tersebut, saya merujuk kepada Negara-negara yang berada di Eropa, bahwa hal semacam ini menjadi sebuah kegiatan yang positif dan mendapat apresiasi. Berbeda dengan Indonesia yang masih sangat kecil dalam menghargai sebuah kesenian. Sayang sekali kala itu saya tidak berkesempatan untuk mewawancarai keluarga tersebut, sehingga tidak bisa menggali banyak hal. Namun yang pasti, saya berharap nantinya mereka akan mendapatkan edukasi positif, sehingga kegiatan mereka tidak terkesan murahan dan diremehkan oleh masyarakat.

Patung yang seperti ini sudah tidak ditemui lagi
Foto ini saya ambil dari google
Mengingat para keluarga tersebut, saya juga teringat dengan patung manusia yang menjadi sebuah kesenian di MBK. Kala itu saya melihatnya di sebuah stasiun TV bahwa mereka berdandan ala patung pahlawan dan akan mematung selama berjam-jam. Dalam kesenian ini mereka juga berharap akan ada harga dari para pengunjung. Namun sayang sekali, ketika saya di MBK pada Juni 2015 ini, patung-patung tersebut tidak ada. Entah memang not perfect time, atau memang karena mereka tidak ada yang menghargai sehingga mereka lebih memilih profesi yang lain. Dari sini saya semakin sadar, bahwa masyarakat Indonesia masih sangat banyak yang belum melek terhadap pendidikan dan pengetahuan nasional maupun internasional. Mungkin mereka masih terlalu sibuk dengan keadaan ekonomi keluarga, sehingga kesehariannya terus terfokus pada membajak sawah dan membersihkan hama, tanpa harus merasa butuh pengetahuan lainnya. Begitu juga bagi yang sudah hidup enak dan mapan, tidak peduli dengan sekitar. Mereka hanya berfikir dengan memberi mereka uang itu cukup. Namun pada hakikatnya, yang dibutuhkan masyarakat adalah edukasi-edukasi yang bersifat non formal yang akan memberikan mereka pengetahuan lebih luas lagi dan menginspirasi kehidupannya. Dengan begitu mereka akan melakukan sebuah perubahan. Itu menurut saya. Lantas, apa menurut Anda  ?
JJMI
-CL-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar