Selasa, 31 Januari 2017

Bahan Renungan #mapalabukanpembunuh



#mapalabukanpembunuh
Di media sosial saat ini tentunya telah banyak ditemui hastag / taggar demikian #mapalabukanpembunuh. Apa sih yang ada di benak Anda saat melihat taggar tersebut ? Tentunya ada yang merengut, marah-marah namun pula ada banyak yang ngotot memberikan pembelaan terhadap taggar tersebut.
Pelbagai permasalahan pendidikan dasar kemapalaan yang tengah terjadi maupun kegiatan alam lainnya yang tengah terjadi di tengah-tengah masyarakat, dewasa ini menjadi sorotan utama dan bahkan hobi menjadi headline dalam berita-berita, entah media cetak, elektronik, maupun media cyber. Setiap kejadian yang menyangkut hal ke-mapala-an akan menjadi hot story, dan menjadi berita nasional. Hal ini siapa yang menciptakan ? media. Awalnya banyaknya orang-orang berbondong-bondong naik gunung untuk pamer di media sosial. Kemudian banyak yang tertarik untuk bergabung didalamnya, entah organsasi yang legal maupun hanyak komunitas yang tanpa legalitas bahkan ada yang menjadi solo climber  mandiri dan tanpa legalitas apapun, tanpa organisasi yang menaunginya. Nah, ketika nahas terjadi yang menjadi tranding topic  tentunya yang menjadi sorotan bukan personalitynya. Namun lebih ke organisasi yang sering melakukan kegiatan tersebut. Mapala. Para audiens berita tidak mau tau siapa dan latar belakang korban. Yang audiens tau kegiatan penuh tantangan itu dilakukan oleh mapala. Media sendiri sebagai agen kontruksi sering sekali luput terhadap kedetailan berita, sering terlupakan hal-hal kecil yang sebenarnya justru memberikan pengaruh besar terhadap pembentukan opini public yang anonim dan merugikan salah satu pihak lainnya.
Audiens yang berkarakter heterogen ini akan menciptakan opini public baru terhadap sebuah kejadian tanpa melihat apa dan siapa yang sebenarnya terjadi. Opini yang mereka buat tidak serta merta berdasarkan pengetahuan yang mumpuni terhadap hal sebenarnya, yang mereka tahu adalah berita yang mereka dapatkan adalah kebenaran mutlak dan tanpa pertanyaan kritis mereka mengamini.
Saya menulis artikel ini di tengah-tengah saya menjadi sosok minoritas di tengah-tengah masyarakat awam. Di saat semua orang mengecam bahwa pendidikan dasar mapala adalah sebuah media untuk melakukan hal sewenang-wenang tanpa aturan dan penuh dengan kekerasan. Awalnya dengan sabar saya menjelaskan bahwa semua itu tidak benar, bahwa ini adalah organisasi yang terstruktur dan adanya pantauan serta pengawasan pula. Jikalau ada kegiatan yang menyimpang dan sampai menewaskan anggota seharusnya itu terjadi karena kecelakaan bukan karena kekerasan atau kasus pembunuhan. Namun pada kenyataannya ada kasus memalukan itu terjadi, namun apakah pantas jika kesalahan itu adalah organisasinya ? Saya dengan lantang menyuarakan bahwa itu adalah oknum. Namun entah seperti apa dengan alasan menurut saya tidak masuk akal banyak yang ngeyel bahwa itu semua terencana untuk melakukan pembunuhan dan melibatkan semua panitia pendidikan. Saya berfikir :
1.    Jika ada 15 panitia dalam sebuah pendidikan apakah ke 15 orang tersebut akan setuju untuk melakukan perbuatan sekeji itu ?
2.    Untuk melakukan kegiatan di sebuah organisasi kampus itu tidak hanya melibatkan panitia yang notabene masih mahasiswa saja, namun juga melibatkan dosen pembimbing, dosen akademik bahkan sampai ke rektor, sehingga pertanggungjawabannya adalah jelas. Bagaimana bias panitia 15 merencanakan pembunuhan padahal legalitas kegiatan itu berbadan hukum yang jelas. Jika terjadi penyimpangan resikonya sudah sangat jelas. Berbeda dengan pendaki freelance yang tanpa organisasi legal, jika terjadi hal serupa badan hukumnya tidak memiliki legalitas, dan justru akan lebih mudah melakukan hal-hal yang melanggar hokum karena pertanggungjawabannya tidak harus melibatkan banyak lembaga yang membuat masalah menjadi semakin rumit.
3.    Jika ingin membunuh mereka tidak perlu melakukan ini yang sudah sangat jelas memberikan dampak negative sangat luas untuk dirinya.
4.    Dari 15 panitia penanggung jawab panitia tentunya adalah ketua umum. Untuk menjadi ketua umum itu tidak mudah, perlu proses yang alot juga saat pemilihan, selain jiwa kepemimpinan harus dimiliki, juga harus memiliki otak cerdas sehingga cekatan dalam mengambil keputusan. Bagaimanapun pemimpin harus memiliki itu.
 Untuk membuat kegiatan Pendidikan Dasar kemapalaan persiapannya tidak hanya 1 atau 2 atau bahkan seminggu. Namun kegiatan ini rata-rata dipersiapkan sejak 3 bulan sebelumnya, karena menyadari kegiatan ini adalah berhubungan dengan nyawa seseorang sehingga panitia perlu memastikan semuanya berjalan lancar dan aman. Apalagi kondisi alam tidak bisa diprediksi. Segala bentuk perizinan dibuat dari jajaran internal organiasi kemudian ke kampus, ke lokasi kegiatan yang semua itu tetap harus prosedural dan proses diplomasi yang tidak mudah ke pemerintahan apalagi jika kegiatannya lintas propinsi, monggo difikirkan sendiri. Segala bentuk persiapan yang melibatkan peserta juga dipersiapkan, terutama fisik dan mental peserta. Karena pendidikan dasar kemapalaan lebih cenderung ke penguatan fisik dan mental, sehingga pendidikannya berbau semi prajurit Negara. Namun ada aturan besar yang menjadi larangan bagi organisasi yang umurnya mencapai 53 tahun berdiri ini, yakni larangan terjadinya kontak fisik kepada peserta seperti pemukulan, tendangan atau apapun yang berbau kekerasan. Maka jika ada yang berbuat demikian artinya itu bukan organisasi yang salah. Namun oknum bodoh yang tidak mengikuti aturan.
Begitu pula kepada anggota mapala yang masih berfikir bahwa pendidikan dasar di mapala adalah ajang untuk berkongkow ataupun ajang untuk terlihat keren kepada junior. Saya dengan ikhlas mengatakan WTF you’re!!!!!!! sepertinya hidup Anda tidak bahagia, bukan lagi kurang bahagia tapi TIDAK BAHAGIA SAMA SEKALI. Ketika Anda telah beranjak menjadi senior di sebuah organisasi maka tanggungjawab Anda semakin besar terhadap pendidikan adik-adik junior Anda tentang keorganisasian, mental, dan bahkan masa depan yang lebih baik untuk mereka. Para pemuda yang memutuskan memilih menjadi mahasiswa bukan tanpa tujuan, mereka bertujuan untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik dan tentunya itu menjadi cita-cita bersama dengan keluarga yang memberinya biaya ataupun yang mendukungnya. Namun, ketika Anda mematikan karakter mereka dengan sikap angkuh kesenioritasan Anda sepertinya Anda adalah anggota mapala yang gagal. Anda perlu membaca sejarah berdirinya organisasi mapala Indonesia yang didirikan oleh Bapak Soe Hok Gie kurang lebih 53 tahun silam. Saya pun curiga apakah Anda telah membaca buku karangan Soe Hok Gie atau belum, atau bahkan lebih ironis lagi, Anda tidak tahu siapa Soe Hok Gie ? Di sisi lain, organisasi MAPALA ( MAHASISWA PECINTA ALAM) sudah sangat jelas kita memiliki tanggung jawab besar terhadap alam ini. Tentang kelestariannya dan juga kesinambungan kehidupannya. Namun jika Anda sibuk memikirkan tentang keangkuhan senioritas, kapan Anda berfikir tentang ini, tentang tanggungjawab utama kita sebagai anggota Mapala.