Jumat, 28 Agustus 2015

Budaya Malam Songo di Bojonegoro

Karena saat menulis ini saya sudah tidak di Bojonegoro, maka foto saya ambil dari google
Pada saat di majlis dan mendengarkan ustadz yang memberi ceramah mengangkat perihal pernikahan, beliau mengangkat sebuah hadits yang memberikan seruan untuk segera menjalankan perintah Allah dalam penyempurnaan iman. Dari hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari, mengatakan bahwa “wahai pemuda, barang siapa diantara kalian telah mampu maka hendaknya menikah, karena ia lebih menundukan pandangan dan memelihara kemaluan. Dan barang siapa yang belum mampu maka hendaknya ia berpuasa, sebab ia dapat megekangnya”. Begtulah ajaran Islam mendidik umatnya dalam memelihara diri dan selalu memiliki akhlaq yang mulia.

Hadits lainnya, seruan menikah
Dari hadits tersebut, saya menjadi teringat dengan sebuah budaya yang baru saya temui di Bojonegoro. Sebagai sesama penghuni provinsi Jawa Timur, saya menemukan banyak adat dan budaya yang sangat berbeda dari tempat kelahiran saya. Salama hampir 2 tahun saya hidup di atas bumi Bojonegoro, saya pun merasa masih sangat kurang merasa puas untuk mengetahui lebih jauh tentang adat dan budaya disini.

Di Bojonegoro, seperti penduduk Indonesia pada umumnya. Disini masyarakatnya didominasi oleh muslim. Sehingga tidak begitu sulit bagi saya untuk beradaptasi disana, ditambah saya juga seorang pribumi jawa timur. Bahasa meski dengan logat dan banyak kosakata berbeda, namun tetap bukan suatu hal yang sulit untuk dihadapi. Akan tetapi, adat dan budaya yang membuat saya tercengang dan kaget serta merasa terharu adalah budaya malam songo. Meskipun ada banyak budaya yang membuat saya tercengang, tapi satu ini membuat saya lebih tercengang. Bukan hanya karena budaya malam songo ini merupakan budaya yang berani tapi menurut saya lebih dari itu. Gila !

Malam songo, adalah sebuah malam di penghujung bulan ramadhan. Dimana hari tersebut menurut mereka merupakan malam penuh kemuliaan. Di kota ini, budaya malam songo, dimanfaatkan untuk menikahkan putra-putri nya dengan harapan agar mendapatkan keberkahan yang melimpah. Ini bukan budaya Islam, ini budaya jawa yang di-Islamkan. Seeperti budaya jawa lainnya yang diambil dari budaya Hindu yakni memilih hari baik untuk melaksanakan sebuah kegiatan terutama pernikahan. Namun ini berbeda dengan malam songo. Di malam songo ini, yang jatuh pada malam ke 29 ramadhan, dimana malam ganjil ramadhan menjadi patokan malam turunnya lailatur qodr atau malam lebih baik dari malam 1000 bulan ini. Dengan begitu malam songo dianggap malam yang paling mulia. Dengan begitu, masyarakat Bojonegoro memanfaatkan hari itu untuk menikahkan putra-putrinya.

Ilustrasi pict taken from google
Hal yang membuat saya menjadi salut dengan masyarakat Bojoegoro adalah menyegerakan untuk menikahkan putra-putrinya jika memang telah baligh. Banyak dari mereka yang saya kenal yang menikah pada hari itu di tahun 2015. Mereka ada yang memang teman sekolah saya dahulu, dan ada juga temannya teman-teman saya. Bahkan sebagian dari mereka adalah masih baru lulus SMA dan belum juga sampai di umur 20 tahun. Para orang tuapun tetap mendukung biaya kehidupan mereka setelahnya. Bahkan sepasang diantaranya adalah salah satu murid saya saat saya dahulu menjadi staff asisten di sebuah sekolah asrama di Ponorogo. Kala dia menikah, dia masih berada di semester 4. Begitupun istrinya masih berada satu tingkat dibawahnya. Hal tersebut saya katakana gila beraninya! Orang tua berani mengambil keputusan ini untuk menghindari dosa yang akan dituai jika terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. Begitupun orang tua tetap bertanggungjawab dengan pernikahan para anak-anaknya.

Ilustrasi, foto dari Google
Saya jadi teringat dengan Kakak kelas saya dahulu. Namanya Dila. Dia cantik, putih, tinggi dan cerdas. Konon, menurut teman-temannya Kak Dila memiliki nilai yang bagus di kelasnya. Namun, begitu selesai SMA, Kak Dila langsung dipinang oleh seorang laki-laki dan telah menikah. Kemarin saat bertemu di acara reuni Sekolah setelah sekitar 6 tahun tidak saling bertemu, Kak Dila sudah memiliki 2 anak dan akan yang ke 3. Hebatnya dia tetap tenang dan tetap percaya diri. Meskipun teman-teman dekatnya tampil dengan cerita dan karir yang melejit. Kak Dila tanpa merasa minder tetap menggandeng anak-anaknya dan seorang lagi yang masih berada dalam perutnya yang membusung ke depan. Saya tidak menemukan hal lain dari pancaran Kak Dilla. Dia lebih sakinah berbeda dengan teman-temannya yang melejit karirnya tapi menunda pernikahannya.
Namun begitu, rasa was-was terhadap pernikahan dini yang tidak memiliki landasan memang sama saja bunuh diri. Saya pun juga mendukung mereka yang menunda pernikahan demi mendapatkan pondasi yang kuat dulu, dengan catatan mereka mampu berpuasa seperti yang ada di dalam hadits tersebut. Namun, melihat pergolatan zaman dan era liberalis yang semakin dalam di Negara ini, pernikahan lebih awal memang lebih baik disegerakan dengan kesadaran dan pengetahuan rumah tangga yang mumpuni. Semoga budaya ini bisa terjaga ya, dan mampu mengurangi kasus pernikahan akibat kecelakaan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar