Jumat, 28 Agustus 2015

Surabaya Juga Kampung Indonesia


Kata teman, saya ini memilki sifat apatis akut. Padahal menurut saya sih tidak separah itu. Memang lebih sering bersikap cuek, namun tetap tahu batasan. Menurut saya. Lha tapi setelah saya fikir-fikir memang benar sih. Saya sering sekali merasa lapar, namun saya biarkan saja apalagi disaat saya sedang ada kerjaan atau sedang mengencangkan ikat pinggang. Namun berbeda pada sore kali ini. Rasanya cacing dalam perut sudah tidak bisa lagi untuk bersabar meski menunggu adzan maghrib. Yasudah saya keluar dan menuju ke warung  natemi (Nasi Telur Mie ) yang sebelumnya direkomendasikan sama sang keponakan. Nah dari sanalah keberkahan ini saya dapatkan.

Gerbang teritori kampung Gebang Kidul
Keramaian di depan kost sudah mulai padat dengan penjual di sepanjang jalanan.  Dengan penuh asumsi juga mata yang meraba-raba makna,  akhirnya saya dapatkan informasi dari Ibu Warung. Bahwa malam mini adalah malam puncak kegiatan 17 Agustus 2015. Meski kalender sudah menunjuk ke angka 28, suasana kemeriahan ini masih terasa di kota Pahlawan. Dengan semangat si Ibu menceritakan bahwa 2 malam puncak ini nanti akan digelar pasar malam, layar tancap dan malam terakhir ada orchestra melayu. Untuk orkesta melayu panggungnya tepat sekali di depan kost an. Nggak kebayang besok malam saya bisa tidur atau tidak, haha namun yang jelas saya menyadari sesuatu yang baru dalam event ini. Namun ada hal yang telah mendorong diri saya untuk memperjuangkan mala mini saya harus keluar dan melihat. LAYAR TANCAP. Nonton layar tancap, sebuah kegiatan yang telah punah. Meski kegiatan ini selalu saya rindukan, namun saya tidak pernah menemuinya lagi setelah saya melepaskan masa TK dahulu. Namun surprise ! Suroboyo rek, onok layar tancap!  Saya menerka-nerka film apa yang akan dipertontonkan. Balada Roma, Ani dan Rika kah. Atau Si Pitung ? Atau Dono Kasino Indro ? Apapun, yang terpenting layar tancap deh!

Suasana bazaar atau pasar malamnya
Malamnya, ditemani oleh Risma dan Mbak Is ( Teman seangkatan keponakan dan senior kost-nya ) saya mulai melihat-lihat sebenarnya apaa sih kegiatan yang dihelat oleh masyarakat Ibu Kota ini ? Daaaaan, eng ing eeeeng…. Ternyata, namanya pasar malam dari kota ke kota tidak pernah ada bedanya kawan. Meskipun ada itu pun juga tidak beda jauh dengan kegiatan di desa. Dan menurut saya, kegiatan di desa lebih meriah namun tidak se-cerdas kegiatan di kota. Jika di desa kegiatan yang sebegitu ramai, akan menghabiskan dana puluhan juta, disini tidak sebanyak itu saya menebaknya. Memang wilayah teritorinya tidak seluas yang ada di desa-desa, sehingga hiburan rakyat ini memang sengaja dipersiapkan untuk seluruh warga satu kompleks saja, yang panjangnya kurag lebih 200 meter. Dengan pembaagian 30 meter dari gerbang free area yang kemudian disambut oleh kursi panjang yang berfungsi sebagai portal. Disinilah batas para penghuni yang keluar masuk untuk naik atau turun dari motor dan mobilnya. Kemudian 150 meter selanjutnya diisi oleh stand-stand penjualan. Jika mendengar desas-desus Mbak-mbak kost yang lebih senior ini disebut bazaar. Iya untuk ala Surabaya memang ini bisa disebut Bazaar. Namun bagi warga sekitar penghuni pribumi kompleks menyebutnya tetap pasar malam. Sama seperti penyebutan saya dan kawan-kawan saya di kampung halaman. Nah kemudian 50 meter sisanya free yang kemudian paling ujung ditutup dengan satu panggung untuk kegiatan orkesta melayu besok malamnya.
Seperti pada umunya pasar malam, stand-stand  menyajikan berbagai penganan, mainan dan juga kebutuhan wanita serta permainan anak kecil. Mengingat yang doyan belanja-belinji adala perempuan, jadi tidak heran dimana-mana setiap ada pasar malam penjual pakaian, tas dan dalaman akan selalu ada. Dan dominasi kedua adalah anak-anak, jadi sudah pasti jika berbagai jenis permainan seperti kereta-kereta an, pemancingan ikan plastik penjualan mainannya menjadi stand yang ramai.

Sorry nih pake kamera minim fasilitas. Gerak dikit blurr dah!
Di pertengahan sepanjang jalan stand, ada acara pembagian hadiah kepada anak-anak yang telah berpartisipasi mengikuti perlombaan yang telah diadakan sebelumnya. Seperti yang saya katakan acara ini berlangsung meriah meski tidak mewah. Panggung acara hanya terbuat dari meja tenis meja bawahnya diberi kursi panjang dengan ketinggian 50 cm. Background yang digunakan juga dua papan tulis pengumuman warga yang dibiarkan apa adanya. (Thuu apa saya bilang, mereka cerdas! ) Namun begitu, semunya tidak menjadi suatu masalah. Pesta rakyat tetap berlangsung dengan lancar dan khidmad. Meski penduduk yang tinggal disini tidak semuanya pribumi Surabaya. Ada juga mereka dari suku Bugis, suku Madura, meski tidak dominan namun mereka tetap damai. Tidak ada lagi pendiskriminasian terhadap minoritas, seperti yang telah dialami Pak Andi Noya pada masa kecilnya dahulu. ( Maaf Pak Andi menguak masa lalu…  :D )

Suasana layar tancap yang terbaharukan 
Oia dan terakhir adalah layar tancap yang saya idam-idamkan sejak Maghrib tadi. Sepanjang jalan saya celingukan, dimana akan dipasangkan layar tancap. Dan subahanallah! Ini tho yang dimaksud layar tancap ? sebuah layar LCD yang dipasang di depan rumah, berikut dengan seperangkat lap top dan sound system-nya. Hmmm, memang dunia sudah kekinian.. hehe. Sedikit kecewa sih, langsung deh butuh mood booster, namun iya ndak apa-apa justru disinilah menariknya. Apalagi film yang dipertontonkan bukan film yang “pecicilan”. Namun film perjuangan Indonesia. Sekilas saya melihat itu film yang disutradarai oleh Hanung Bramantyo yang dirilis pada akhir 2013 dengan judul Soekarno : Indonesia Merdeka. Untuk penonton sudah pasti bisa ditebak donk. Mereka dimayoritasi oleh anak-anak dan bapak-bapak kawan. Sebagian ibu-ibu itu pun yang umurnya memang sudah diatas 50 tahun. Nah, masih bingung mau jalan-jalan kemana saat bokek ? Jalan-jalan nggak perlu mahal kawan, yang terpenting oleh-oleh manfaatnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar